Jumat, 22 Juni 2012

MARTABAT TUJUH

Anjuran
Dalam pengajian Ilmu Hakikat adalah dilarang sama sekali mendatangi dan juga pengetahuan ini di sampaikan kepada ulama syariat dan dinasihatkan supaya bertanya, berguru pada ahli hakikat lagi makrifat lagi mursyid. Jangan sesekali bilang sesat niscaya sesat itu akan kembali pada diri sendiri yang mengatakan.

Selain dari cara syariaat dan cara tarekat, terdapat satu lagi untuk memendekatkan hubungan antara hamba dan tuhannya yaitu cara hakikat.Cara hakikat merupakan cara yang ketiga yaitu satu cara mendalami ilmu hakikat dengan menyelami dan mengenali diri sendiri, yang merupakan satu – satu jalan yang di lalui oleh wali – wali Allah, arif bi Allah.
Mereka yang menjalani pengajian ilmu hakiki ini akan berikhtiar dengan tekun dan tabah untuk mendekatkan hubungan dirinya dengan Allah s.w.t., dengan cara membongkar, menyeliki dan menyaksikan diri sendiri yaitu diri rahasia yang ditanggung oleh dirinya dan berusaha untuk membentuk dirinya menjadi kamil-mukammil.

Bagi mereka yang ingin melalui cara hakiki ini dinasihatkan terlebih dahulu melalui cara tarukat (menanggalkan), thuruqat (menapak) dan berhasil pula membersihkan dirinya dari dari segala bentuk syirik “shaghir”, syirik “khafy” dan dan syirik “jaly”. Mereka hendaklah menjalani perguruan dengan guru – guru hakikat dan makrifat serta mursyid yang mempunyai pengetahuan yang luas serta mencapai pula ke tahap martabatnya. Untuk pengetahuan lebih jelas silakan bertanya pada guru-guru makrifat lagi mursyid.

Orang – orang hakiki yang sampai pada martabatnya bukan saja mulia di sisi Allah malah mendapat pula kemuliannya di tengah masyarakat. Adalah perlu ditegaskan di sini tujuan akhir pengajian HAKIKAT adalah untuk megembalikan diri Asal Mu Mula Allah yaitu pada Lahir dan Batin yakni pada diri lahir dan diri batin pada martabat kemuliaan insan kamil mukammil. Tiada sesuatu pun pada dirinya kecuali Allah semata-mata. Dan balikmu semula Allah.

Untuk itu pengajian hakikat ini mestilah ada kesinambungan dengan pengajian makrifat. Sesungguhnya kata hakikat dan makrifat dua perkataan yang tidak boleh di pisahkan.

1.MARTABAT TUJUH
Dalam mengistilahkan Alam Tujuh atau Martabat Tujuh ini, ia tidak lepas dari istilah “Asal Mu Mula Balik Semula Pada Tuhan”, ini di sandarkan pada firman-Nya yang berbunyi: “Inna lillah wa inna ilayh raji’un.” Jatuh hujunnya Asal Mu Allah Balik Mu semula Allah.

Oleh itu, di sini dua aspek utama dibahaskan;
1.Asal kejadian manusia yang dinyatakan melalui penjelasan pada Martabat Tujuh Atau Martabat Alam Insan.
2. Balik Mu semula Allah yaitu menerangkan persiapan untuk menyerah atau mengembalikan diri rahasia yang di kandung oleh jasad sebagaimana asalnya suci bersih.
Diri Empunya Diri mentajallykan dirinya dari satu martabat ke satu martabat atau dari satu alam ke satu satu alam. Dalam kita memperkatakan alam atau Martabat Tujuh atau Martabat Alam Insan yang dikenali juga Martabat Tujuh, terkandung di dalam Surah Al-Ikhlas, di dalam Al Quran yaitu dalam menyatakan tentang kewujudan Allah yang menjadi diri rahasia kepada manusia itu sendiri dan membahas proses penwujudan Allah untuk diterima oleh manusia sebagai diri rahasianya.

Proses pemindahan atau Tajally Dzat Allah s.w.t bermula dari alam ghayb al-ghuyyub, terbentuk diri lahir dan diri batin manusia ketika ia mulai bernafas di dalam kandungan ibu kemudian lahir ke dunia yaitu karena pada martabat ghayb al-ghuyyub adalah merupakan martabat manusia yang paling tingggi dan suci. Inilah martabat yang benar-benar diridlai oleh Allah s.w.t.

Diri manusia pada martabat “Insan Kamil” adalah sebatang diri yang suci mutlak pada lahir dan batin, tiada cacat celanya dengan Allah s.w.t. yaitu Tuan Empunya Rahasia. Lantaran itu, Rasul Allah s.a.w pernah menegaskan dalam sabdanya, bahwa kelahiran seseorang kanak-kanak itu dalam keadaan yang suci, tetapi yang mencorakkannya menjadi kotor adalah ibu-bapaknya.

Jadi ibu-bapaklah yang mencorakkan sehingga kanak-kanak kotor termasuk masyarakatnya, bangsanya dan juga negaranya sekaligus dengan manusia itu sendiri hanyut mengikut gelombang godaan hidupnya di dunia ini.

Oleh sebab itu adalah menjadi tanggungjawab seorang manusia yang ingin kembali menuju jalan kesucian dan makrifat kepada tuhannya, selayaknyalah dia mengembalikan dirinya ke suatu tahap yang dikenali “Kamil Al-Kamil” atau di namakan tahap Martabat Alam Insan.

Dalam membahas tingkatan atau martabat pentajallyan Allah Tuan Yang Empunya Diri yang menjadi rahasia manusia ianya melalui tujuh tingkatan. Tingkatan tersebut secara umumnya sebagai berikut:
1. Ahadah -Alam Lahut -Martabat Dzat
2. Wahdah-Alam Jabarut – Martabat Sifat
3. Wahdiah-Alam Wahdiah – Martabat Asma
4. Alam Ruh-Alam Malakut -Martabat Afaal
5. Alam Mitsal – Alam Bapa
6. Alam Ajsam- Alam Ibu
7. Alam Insan – Alam Nyata
AL-IKHLAS (1-7)


1.MARTABAT TUJUH

1.1 ALAM AHDAH

Pada pembahasan alam ghayb al-ghuyyub yaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada asma’, belum ada afa’al dan belum ada apa-apa lagi yaitu pada martabat la ta’yin, Dzat Al-Haqq telah menegaskan untuk memperkenalkan Diri-Nya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallykanNya DiriNya dari satu peringkat ke peringkat sampai lahirnya manusia berbadan ruhani dan jasmani.

Adapun martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama: Qul huw Allah Ahad, yaitu Sa (Esa-Satu) pada Dzat semata-mata dan inilah dinamakan martabat Dzat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Dzat Al-Haqq) Tuhan Rabb Al-Jalal adalah dengan dia semata-mata yaitu dinamakan juga Diri Sendiri. Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya yaitu Wujud Hakiki lagi qadim.

Pada masa ini tida shifat, tiada asma’ dan tida afa’al dan tiada apa-apa pun kecuali Dzat Mutlak semata-mata. Maka berdirilah Dzat itu dengan Dia semata-mata. Dalam keadaan ini dinamakan ‘Ayn Al-Kafur dan diri dzat dinamakan Ahdah jua atau dinamakan KUNH DZAT.

1.2 ALAM WAHDAH

Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajallyan. Diri Empunya Diri telah mentajallykan diri ke suatu martabat sifat yaitu “La ta’yin tsani”, pengungkapan nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak yaitu ada permulaannyan.

Martabat ini dinamakan martabat noktah mutlak atau disebut juga Sifat Muhammadiyah. Martabat ini juga dinamakan martabat Martabat Wahdah, terkandung pada ayat “Allah Al-Shomad” yaitu tempat Dzat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 lapis bumi.

Pada peringkat ini Dzat Allah Ta’ala mulai bersifat. Sifat-Nya itu adalah sifat batin jauh dari nyata. Dapat diumpamakan sepohon pokok besar yang subur yang masih di dalam dalam biji, tetapi ia telah wujud, tidak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia dinamakan Tsabit Nyata Pertama atau martabat la ta’yin awwal yaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata (wujud pada Allah) tetapi tidak lahir.

Pada peringkat ini Tuan Empunya Diri tidak lagi Berasma’ dan di peringkat ini terkumpul Dzat Mutlak dan sifat batin. Di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata yaitu di dalam keadaan yang dikenal dengan istilah Ruh Idlafy. Pada peringkat ini sebenarnya pada Hakiki Sifat. (Kesempurnaan sifat) Dzat Al-Haqq yang ditajallykannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Masih terhimpun dan tersembunyi di samping telah lahir pada hakikinya.

1.3 ALAM WAHDIAH

Pada peringkat ketiga, setelah tajally Diri-Nya pada peringkat “la ta’yin awwal”, maka Empunya Diri kepada Diri rahasia manusia ini, mentajallykan pula diri-Nya ke satu martabat Asma’ yakni pada martabat segala nama dan dinamakan martabat: Muhammad Munfashal, yaitu keadaan terhimpun lagi bercerai – cerai atau dinamakan “Hakikat Insan.”

Martabat ini terkandung dalam “lam yalid” yaitu sifat qadim lagi baqa’, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahasia telah terhimpun pada hakikinya Dzat, sifat batin dan asma batin. Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai karena pada peringkat ini sudah dapat di tentukan jenis masing-masing, tetapi belum lahir, masih di dalam Ilmu Allah, yaitu dalam keadaan “’Ayn Tsabitah”. Artinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahasia Allah, belum terlahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi. Martabat ini dinamakan juga wujud idlofy dan martabat wujud ‘amm karena wujud di dalam sekalian jenis dan wujudnya bersandarkan pada Dzat Allah Dan Ilmu Allah.

Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahasia Allah dalam hakiki dan dalam batin, boleh dikatakan ruh di dalam ruh. Dinyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.

1.4 ALAM RUH

Pada peringkat keempat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diri-Nya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamaka ruh. Jadi pada peringkat ini dinamakan Martabat Ruh pada Alam Ruh. Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata Dzat, Shifat dan Afa’alnya. Diri yang sempurna, cukup lengkap seluruh anggota-anggota batinnya, tida cacat, tiada cela. Keadaan ini dinamakan Alam Kharijah yaitu nyata lagi lahir pada hakiki dari Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia “Jisim Lathif” yaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Dia tidak mengalami cacat cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis, asyik dan hancur binasa. Inilah yang dinamakan “Khalidat Allah”.

Martabat ini terkandung di dalam “walam yulad”. Dan berdirilah ia dengan diri tajally Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahasia Allah dalam Diri Manusia.

1.5 ALAM MITSAL

Alam Mitsal adalah peringkat ke lima dalam proses pentajallyan Empunya Diri dalam menyatakan rahasia diriNya untuk ditanggung oleh manusia untuk menyatakan diri-Nya. Allah w.w.t. terus menyatakan diri-Nya melalui diri rahasia-Nya dengan lebih nyata dengan membawa diri rahasia-Nya untuk dikandung pula oleh bapak yaitu dinamakan Alam Mitsal.

Untuk menjelaskan lagi Alam Mitsal ini adalah dimana unsur ruhani yaitu diri rahasia Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan. Alam mitsal jenis ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan peralihan dari alam Arwah (alam ruh) menuju ke alam nasut maka itu dinamakan ia Alam Mitsal dimana proses peryataan ini, pewujudan Allah pada martabat ini belum lahir, tetapi nyata dalam tidak nyata.

Diri rahasia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallykan kepada ubun-ubun bapak, yaitu pemindahan dari alam ruh ke alam Bapak (mitsal).

Alam Mitsal ini terkandung ia di dalam “walam yakun “, yaitu dalam keadaan tidak bisa dibagaikan. Dan seterusnya menjadi “di”: “wadi”, “mani” yang kemudian disalurkan ke satu tempat yang berbaur diantara diri rahasia batin (ruh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu. Maka terbentuklah apa yang di katakan “Manikam” ketika berlakunya bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapak).

Perlu diingat, tubuh rahasia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi lahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.

1.6 ALAM AJSAM

Pada peringkat keenam, selepas saja rahasia diri Allah pada Alam Mitsal yang dikandung oleh bapak, maka berpindah pula diri rahasia ini melalui “Mani” bapak ke dalam rahim Ibu dan ini dinamakan Alam Ajsam.

Martabat ini dinamakan martabat “Inssan Kamil” yaitu batang diri rahasia Allah telah dikamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi “Kamil Al-Kamil”. Yaitu menjadi satu pada lahirnya kedua-dua badan ruhani dan jasmani. Kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu. Sesungguhnya martabat kanak-kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan “Insan Kamil”. Martabat ini terkandung ia di dalam “lahu kufuwan” yaitu bersekutu dalam keadaan “Kamil Al-Kamil” dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.

Selepas cukup tempuh dan masanya dan diri rahasia Allah yang menjadi “Kamil Al-Kamil” itu dilahirkan dari perut ibunya, maka disaat ini sampailah ia pada Martabat Alam Insan.

1.7 ALAM INSAN

Alam ketujuh yaitu alam Insan, ini terkandung ia di dalam “Ahad” yaitu Sa (Esa-Satu). Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pewujudan dan peryataan diri rahasia Allah s.w.t. di dalam tubuh badan insan yang mulai bernafas dan dilahirkan ke alam maya yang fana ini. Maka alam insan ini dapat dikatakan satu alam yang terkumpul seluruh proses pentajallyan diri rahasia Allah dan pengumpulan seluruh alam-alam yang ditempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martbat ke satu martabat.

Oleh karena ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam-alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahasia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri. Proses penyerahan kembali rahasia Allah ini hendaklah bermulah dari alam maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali asalnya mula kembalimu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah-lengah lagi.

2.TUJUAN MARTABAT ALAM INSAN

1. Ada pun tujuan utama pengkajian dan keyakinan Martabat Alam Insan ini;

2. Bertujuan memahami dan memegang satu keyakinan Mutlak bahwa diri kita ini sebenar – benarnya bukanlah diri kita, tetapi kembalikan semula asalnya Tuhan.

3. Dengan kata lain untuk memperpanjangkan kajian, kita juga dapat mengetahui pada hakikatnya dari mana asal mula diri kita sebenarnya hinggalah kita lahir di alam maya ini.

4. Dalam pada itu dapat pula kita mengetahui pada hakikatnya kemana diri kita harus kembali.

5. Apakah tujuan sebenar diri kita di lahirkan.

6. Dalam memperkatakan Martabat Alam Insan

Dengan memahami Martabat Alam Insan ini, maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahwa diri kita ini adalah pantulan sifat Allah ta’ala semata-mata. Diri sifat yang ditajallykan untuk menyatakan sifat-Nya sendiri yakni pada alam shaghir dan alam kabir. Dan Allah ta’ala memuji Diri-Nya dengan asma’-Nya sendiri dan Allah ta’ala menguji Diri-Nya sendiri dengan Afa’al-Nya sendiri.

Dalam memaparkan Martabat Alam Insan kita membahas diri kita sendiri. Diri kita dari sifat Tuhan yang berasal daripada ghayb al-ghuyub (Martabat Ahdah) yaitu pada martabat Dzat hingga lahir kita bersifat dengan sifat bangsa Muhammad. Oleh yang demikian wujud atau lahir kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnya diri kita ini adalah penyata kepada diri Tuhan semesta alam semata-mata.

Firman-Nya: ‘Inna lillah wa inna ilayh raji’un’, “Sesungguhnya asal dirimu itu dari Allah dan hendaklah kembali pulang kepada-Nya (Tuhan Asal Diri Mu)”.

Setelah mengetahui dan memahami secara jelas lagi terang bahwa asal kita ini adalah dari Tuhan pada Martabat Ahdah dan nyatanya kita sebagai pantulan sifat-Nya pada Martabat Alam Insan, maka pada Alam Insan inilah kita memulakan langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat sifat kepada martabat ketuuhanan kembali yaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Dzat.

Sesungguhnya Allah s.w.t diri kita pada Martabat Ahdah menyatakan diri-Nya dengan sifat-Nya sendiri dan memuji sifat-Nya sendiri dengan asma-Nya sendiri serta menguji sifat-Nya dengan af’al-Nya sendiri. Sesungguhnya tiada sesuatu sebenarnya pada diri kita kecuali diri sifat Allah, Tuhan semesta semata-mata.

  

3.PROSES MENGEMBALIKAN DIRI

Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahasia kepada Tuhan Empunya Rahasia, maka manusia itu semestinya mempertingkatkan kesuciannya sampai ke peringkat asal kejadian rahasia Allah ta’ala.

Manusia ini sebenarnya mesti menapaki dan melalui dari Alam Insan pada nafsu amarah ke Martabat Dzat yaitu nafsu Kamaliah yaitu maqam “Izzat Al-Ahdah”. Lantaran itulah tugas manusia semestinya mengenal hakikat diri ini lalu balik untuk mengembalikan amanah Allah s.w.t. tersebut sebagaimana mula proses penerimaan amanahnya pada peringkat awalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar